Hukum BPJS Dalam Islam Menurut MUI Salaf NU Ustadz Ahmad Suryana, BBA., DBA.

Anjrah University – Kita akan bahas hukum bpjs dalam islam menurut Ustadz Ahmad Suryana, BBA., DBA., beliau seorang pakar muamalah islam, Lulusan LIPIA Jakarta, Doktor Administrasi Bisnis yang mendedikasikan ilmunya untuk membedah tuntas hukum-hukum syariah dalam transaksi keuangan dan bisnis modern.

Ketika diskusi tentang halal haram asuransi dan jaminan sosial mengemuka di ruang publik, BPJS sering menjadi korban klaim sederhana yang menyebutnya riba atau penuh gharar.

Dalam kajian panjangnya, Ustadz Ahmad Suryana menolak kesimpulan cepat itu. Ia menempatkan BPJS dalam koridor jaminan sosial nasional dan membaca hukum produk ini dari teks undang undang serta kaidah muamalah, bukan dari prasangka atau kabar burung.

Berikut ini penjelasan ringkas namun runtut yang menyusuri argumen utama Ustadz Ahmad Suryana: mulai dari karakter produk BPJS, bagaimana titik timbulnya riba dalam asuransi, hingga penilaian atas mekanisme denda dan soal penggunaan fasilitas oleh orang mampu.

Langsung saja simak point point penjelasan Hukum BPJS menurut Islam, oya, di bagian bawah saya sertakan video dan transkrip video bagi yang benar benar ingin memperdalam.

Awal Awal ini point point ringkas saja.

Karakter BPJS sebagai sistem jaminan sosial

Ustadz Ahmad membuka penjelasan dengan menegaskan perbedaan mendasar antara BPJS dan asuransi komersial.

BPJS berdiri sebagai lembaga penyelenggara jaminan sosial yang dana dan pengelolaannya diatur oleh undang undang.

Dana yang dikelola bukan milik perusahaan, melainkan amanah peserta dan kas publik yang disiapkan untuk keperluan bersama.

Dalam perspektif itu, premi atau iuran peserta berfungsi sebagai kontribusi kolektif untuk kepentingan bersama, bukan sebagai pembayaran harga untuk membeli produk atau pengembalian uang dari badan penyelenggara.

Mengapa BPJS bukan riba

Riba terjadi ketika ada pertukaran uang dengan uang yang menghasilkan kelebihan secara tidak sah.

Pada asuransi konvensional pola ini muncul ketika peserta membayar premi lalu perusahaan mengembalikan uang dalam jumlah berbeda pada waktu yang berbeda pula.

Namun dalam BPJS, peserta tidak menerima pengembalian uang. Yang diterima adalah layanan kesehatan, bukan nominal uang.

Biaya layanan itu juga bukan berasal dari “uang perusahaan”, tetapi diambil dari dana bersama masyarakat.

Tidak ada transaksi dua arah berupa jual beli uang, sehingga unsur riba gugur sejak awal.

Akad dasar: wakalah dan tabarru

Dalam penjelasan fikihnya, hubungan hukum antara peserta dengan BPJS lebih tepat digambarkan sebagai akad wakalah bil ujrah, yaitu pendelegasian pengelolaan dana amanah.

Adapun hubungan peserta dengan kas bersama adalah akad tabarru, yaitu komitmen saling menanggung risiko.

Kedua akad ini bersifat sosial, bukan komersial.

Konsekuensinya, hukum gharar dan riba yang berlaku pada jual beli tidak digunakan di sini.

Menjawab tuduhan gharar

Gharar biasanya dituding karena ketidakpastian manfaat.

Namun ketidakpastian dalam tabarru tidak termasuk gharar yang diharamkan.

Ini karena ketidakpastian tersebut berada dalam akad sosial, bukan transaksi dagang.

Peserta tidak “membeli” manfaat tertentu dari BPJS, sehingga tuduhan gharar tidak berdasar.

Denda administrasi dan etika penggunaan

Banyak orang salah paham terhadap istilah denda BPJS.

Yang sebenarnya terjadi adalah pengurangan fasilitas jika peserta menunggak.

Ini bukan bunga atas hutang, melainkan aturan administrasi agar sistem gotong royong tetap berjalan.

Ustadz Ahmad juga memberi catatan etis: orang yang mampu namun mendaftar sebagai peserta gratis (PBI) berarti mengambil hak fakir miskin.

Hal ini dinilainya sebagai perbuatan yang batil.

Di mana riba pada asuransi konvensional

Untuk memperjelas batasannya, Ustadz Ahmad menjelaskan titik riba dalam asuransi konvensional.

Riba muncul jika peserta membayar uang dan perusahaan mengembalikan uang dengan kelebihan, baik karena perubahan jumlah maupun tempo.

Selama pola ini tidak ada, riba pun tidak ada.

Catatan soal label syariah

BPJS belum memakai label syariah sepenuhnya bukan karena akadnya bermasalah, tetapi karena portofolio pengembangan dananya belum seluruhnya masuk sektor halal sesuai standar label syariah.

Namun hal ini tidak mengubah keabsahan akad peserta yang tetap berada dalam wilayah aman dan non-komersial.

Pada akhirnya, penjelasan Ustadz Ahmad Suryana memperlihatkan satu garis besar: BPJS adalah sistem jaminan sosial yang berdiri di atas asas tolong menolong dan pengelolaan dana amanah, sehingga penyamaannya dengan asuransi komersial tidak tepat.

Kebingungan tentang riba dan gharar muncul ketika masyarakat mengira BPJS bekerja seperti perusahaan yang menjual keuntungan, padahal struktur resikonya ditanggung bersama seluruh peserta.

Video Penjelasan Hukum BPJS Dalam Islam

Lebih lengkap, bisa simak video transkrip hukum BPJS dalam islam ceramah Ustadz Ahmad Suryana Berikut

Pembukaan Kajian Hukum BPJS Menurut Islam dan Khutbatul Hajah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Innalhamda lillah, nahmaduhu wa nasta’inuhu wa nastaghfiruhu, wa na’udzu billahi min syururi anfusina wa min sayyiaati a’malina.

Man yahdihillahu fala mudhillalah, wa man yudhlil falahadiyalah.

Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu la syarika lah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu.

Ya ayyuhalladzina amanu, ittaqullaha haqqa tuqatih, wa la tamutunna illa wa antum muslimun.

Ya ayyuhannas, ittaqu rabbakum alladzi khalaqakum min nafsin wahidah, wa khalaqa minha zawjaha, wa bathsa minhuma rijalan katsiran wa nisa’a.

Wattaqullaha alladzi tasa’aluna bihi wal arham. Innallaha kana ‘alaikum raqiba.

Ya ayyuhalladzina amanu, ittaqullaha wa quluu qaulan sadida. Yushlih lakum a’malakum wa yaghfir lakum dzunubakum. Wa may yuthi’illaha wa rasulahu faqad faza fawzan ‘azima.

Amma ba’du. Fa inna ashdaqal haditsi kitabullah. Wa khairal hadyi hadyi Muhammadin shallallahu alaihi wasallam. Wa syarral umuri muhdatsatuha. Wa kulla muhdatsatin bid’ah, wa kulla bid’atin dhalalah, wa kulla dhalalatin finnar.

Hadirin, semoga Allah memberikan keberkahan dan keistikamahan di atas dinul Islam.

Alhamdulillah kita bersyukur atas nikmat iman, Islam, kesehatan, dan waktu luang yang Allah berikan hingga hari ini.

Sehingga kita bisa memanfaatkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan belajar ilmu syariah di masjid At Tin.

Memulai Tema Kajian: Hukum BPJS

Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tema tentang hukum BPJS.

Pembahasan ini melanjutkan pertemuan bulan lalu tentang asuransi.

Masih banyak masyarakat, terutama yang sudah mengenal muamalah syariah, yang merasa tabu atau alergi dengan istilah asuransi.

Kaidah Dasar Muamalah: Hukum Asal Adalah Mubah

Padahal asuransi adalah bagian dari muamalah.

Kaidahnya: hukum asal muamalah itu mubah sampai ada dalil yang melarang.

Termasuk produk perbankan dan produk asuransi lainnya.

Selama tidak mengandung riba, gharar, dan kezhaliman, maka hukumnya kembali kepada mubah.

Awal Pembahasan: Mengapa Asuransi Bisa Mengandung Riba

Dalam pertemuan sebelumnya kita sudah membahas bagaimana asuransi bisa mengandung riba.

Asuransi juga dapat mengandung gharar.

Riba muncul karena adanya pertukaran uang dengan uang.

Nasabah membayar premi berupa uang kepada perusahaan asuransi.

Perusahaan menjanjikan manfaat berupa penggantian uang tunai untuk risiko tertentu.

Dalam fikih, bila uang ditukar dengan uang sejenis, tidak boleh berbeda jumlah dan harus tunai.

Jika berbeda jumlah, itu riba fadhl.

Jika tidak tunai, itu riba nasi’ah.

Ini semua berlaku dalam transaksi komersial.

Karena itu, banyak asuransi konvensional masuk kategori ribawi.

Munculnya Unsur Gharar dalam Asuransi

Gharar muncul ketika seseorang membayar dengan nilai pasti, tetapi menerima manfaat yang tidak pasti.

Bisa dapat besar, kecil, atau bahkan tidak dapat sama sekali.

Dalam banyak produk asuransi, pola seperti ini terjadi.

Misalnya asuransi kesehatan,

Orang membayar premi rutin setiap bulan, tetapi manfaatnya tidak pasti.

Bisa jadi ia sakit dan memakai fasilitasnya, bisa jadi ia sehat dan tidak memakai fasilitas sama sekali.

Melanjutkan Penjelasan tentang Gharar dalam Asuransi

Itulah sebabnya banyak ulama memasukkan asuransi konvensional ke dalam kategori yang mengandung gharar.

Sebab nasabah tidak tahu berapa nilai manfaat yang pasti ia akan dapatkan, sedangkan premi yang ia bayarkan jumlahnya pasti.

Dalam skema komersial, gharar seperti ini menjadi terlarang.

Namun apabila akadnya adalah akad sosial, akad tabarru’, maka tingkat ketidakpastian itu tidak berpengaruh kepada hukum.

Masuk ke Pembahasan Khusus: BPJS dan Isu Riba

Sekarang kita masuk kepada pokok bahasan kita, yaitu BPJS.

Banyak sekali orang menilai BPJS itu riba.

Ada yang bilang karena telat bayar dikenakan denda.

Ada yang bilang karena mirip asuransi.

Ada yang bilang karena manfaatnya tidak pasti.

Ada yang bilang premi sekian, tapi bisa dapat layanan puluhan juta.

Kita akan bahas satu per satu, berdasarkan tasawwur, pemahaman yang benar, yaitu berdasarkan undang-undang BPJS langsung.

Penjelasan Awal: Tiga Kelompok Peserta BPJS

BPJS itu ada tiga kategori besar pesertanya.

  • Pertama, peserta PBI. Peserta Penerima Bantuan Iuran, yaitu masyarakat miskin yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah.
  • Kedua, peserta non-PBI yang ditanggung oleh pemberi kerja, seperti PNS, TNI, Polri, pegawai BUMN, dan sebagainya.
  • Ketiga, peserta mandiri yang membayar sendiri iurannya setiap bulan.

Yang sering dipermasalahkan adalah peserta mandiri.

Pertanyaan dari Jamaah tentang Peserta Mandiri

Jamaah bertanya: “Kalau peserta mandiri, apakah hukumnya riba atau tidak?”

Ada yang mengatakan peserta mandiri itu riba karena ada denda telat bayar dan sifatnya mirip asuransi konvensional.

Ada pula yang mengatakan boleh bila dalam keadaan darurat, misalnya seseorang tidak miskin secara kategori, tetapi tidak mampu membayar biaya operasi puluhan juta secara tunai.

Kita akan luruskan semua ini.

Penjelasan Ustadz: Riba dalam Asuransi Muncul Jika Ada Pertukaran Uang

Kita kembali kepada definisi riba dalam asuransi.

Riba muncul ketika ada pertukaran uang dengan uang antara nasabah dan perusahaan asuransi.

Bila nasabah membayar premi berupa uang kepada perusahaan, dan perusahaan membayarkan kembali uang kepada nasabah dalam nilai yang berbeda, maka itu riba.

Tetapi BPJS tidak melakukan itu.

BPJS tidak memberikan uang tunai.

BPJS memberikan layanan kesehatan, bukan uang.

Maka klaim “BPJS riba” gugur pada titik ini karena tidak ada penanggungan uang oleh BPJS kepada peserta.

Penjelasan Ustadz: Penanggung Biaya BPJS Bukan Perusahaan

Poin yang sering disalahpahami adalah siapa yang sebenarnya menanggung biaya kesehatan peserta BPJS.

Orang mengira BPJS adalah perusahaan yang menanggung biaya risiko peserta.

Padahal berdasarkan undang-undang, dana BPJS bukan milik badan BPJS.

Dana iuran adalah dana amanah milik masyarakat.

Yang menanggung biaya kesehatan peserta adalah kas dana umat, yaitu dana kumpulan peserta + bantuan APBN.

Bukan BPJS sebagai perusahaan, karena BPJS bukan perusahaan yang mencari untung.

BPJS Bukan Transaksi Komersial

Karena tidak ada hubungan transaksi dua arah antara peserta BPJS dan BPJS sebagai badan, maka tidak ada unsur riba.

BPJS hanya lembaga pengelola.

Akadnya adalah wakalah bil ujrah, yaitu pengelolaan dana amanah.

Uang yang terkumpul adalah dana tabarru’ dari peserta, untuk saling menanggung risiko.

Maka BPJS lebih dekat kepada model takaful sosial, bukan asuransi komersial.

Dalil Teknis: BPJS Sesuai Undang-Undang adalah Badan Nirlaba

Dalam undang-undang BPJS jelas tertulis bahwa BPJS adalah badan hukum publik nirlaba.

Nirlaba artinya bukan perusahaan, bukan entitas bisnis, dan tidak boleh mengambil keuntungan dari dana iuran.

Badan ini hanya mengelola saja, tidak boleh memiliki dana peserta.

Seluruh dana adalah milik masyarakat dan digunakan untuk kepentingan masyarakat.

Maka tidak tepat menyamakan BPJS dengan asuransi konvensional.

Ustadz Menjelaskan: Kesalahan Masyarakat dalam Memahami Hukum Muamalah

Banyak orang salah dalam menentukan hukum BPJS karena hanya mendengar dari berita.

Ada yang bilang BPJS haram karena denda. Padahal tidak membaca aturan teknisnya.

Ustadz mengatakan: “Dalam muamalah, jangan hanya dengar katanya. Lihat tasawwur produk. Lihat SOP, undang-undang, dan mekanisme kerja.”

Muamalah itu logikanya keadilan.

Semua kaidah riba dan gharar itu tujuannya menjaga fairness.

Maka kita harus memakai logika keadilan untuk menilai akad BPJS.

Memasuki Pembahasan Denda BPJS

Sekarang masuk kepada isu denda.

Banyak masyarakat menyangka denda BPJS adalah riba.

Kita akan bahas pada bagian selanjutnya.

webp _ hukum bpjs dalam islam erwandi firanda adi hidayat hukum bpjs dari agama islam

Masalah Denda dalam BPJS

Banyak masyarakat yang mengira bahwa denda BPJS adalah riba.

Alasannya karena ada keterlambatan pembayaran iuran lalu muncul beban tambahan.

Kita lihat dulu secara tasawwur, bagaimana sebenarnya denda BPJS itu berjalan.

Dalam BPJS, jika peserta tidak membayar iuran untuk jangka waktu tertentu, status kartunya hanya non-aktif. Tidak ada penambahan hutang berbunga.

Denda yang dibicarakan masyarakat itu sebenarnya bukan denda dalam arti bunga pinjaman.

Bukan seperti: telat bayar 100 ribu, lalu ditambah menjadi 105 ribu atau 110 ribu.

Yang terjadi adalah: jika peserta suatu saat membutuhkan rawat inap setelah sekian bulan tidak aktif, maka ada biaya tambahan berupa denda pelayanan sebesar persentase tertentu dari biaya pelayanan, dan itu pun ada batas maksimalnya.

Jadi bukan denda hutang, tetapi biaya tambahan pelayanan tertentu karena peserta sebelumnya tidak ikut urun dana dalam periode tersebut.

Analogi: Kas RT

Ustadz memberi contoh sederhana.

Di RT, semua warga bayar kas. Kas ini digunakan untuk kegiatan bersama, misalnya kebersihan atau keamanan.

Kalau ada warga yang tidak bayar kas selama beberapa bulan, lalu suatu saat ingin menggunakan fasilitas, biasanya pengurus akan mengatakan:

“Pak, bayar dulu kas yang kemarin kemarin. Kalau tidak, tidak bisa ikut fasilitas.”

Itu bukan riba. Itu adil.

Karena ia tidak ikut memberi kontribusi, maka ia tidak berhak menerima manfaat penuh.

Nah denda BPJS itu mirip seperti itu. Bukan bunga. Tetapi biaya akibat peserta tidak ikut urun dana di periode sebelumnya.

Denda dalam BPJS Bukan Riba

Karena itu, denda BPJS bukanlah riba.

Denda riba adalah tambahan atas utang pokok karena faktor waktu.

Sementara BPJS tidak menganggap iuran sebagai hutang yang berbunga.

Ketiadaan pembayaran hanya menyebabkan status kepesertaan non-aktif.

Tidak ada tambahan “hutang tertunggak” yang harus dibayar.

Dan biaya tambahan rawat inap itu bukan bunga, tetapi biaya eksternal yang dipakai untuk fairness kepada peserta lain.

Penjelasan Ustadz: BPJS adalah Takaful Sosial

Kita masuk lagi ke poin penting yang Ustadz jelaskan.

  • BPJS itu bukan asuransi konvensional.
  • BPJS itu memakai model takaful sosial.

Yang menanggung risiko bukan perusahaan, tetapi peserta itu sendiri melalui dana bersama.

Badan BPJS hanya bertugas mengelola, bukan menanggung risiko.

Karena itu,

Akad peserta kepada BPJS adalah akad wakalah (akad pendelegasian pengelolaan).

Adapun akad peserta kepada dana sosial adalah akad tabarru’ (saling menanggung risiko).

Dalil Teknis dari Standar Syariah: AAOIFI

Apa Itu AAOIFI? AAOIFI adalah singkatan dari Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions. Didirikan pada tahun 1991 dan bermarkas di Manama, Bahrain.

Definisi Singkat: AAOIFI adalah badan nirlaba internasional yang tujuannya utama adalah mengembangkan dan menerbitkan standar-standar syariah, akuntansi, audit, tata kelola (governance), dan etika untuk industri jasa keuangan Islam (Islamic Financial Institutions/IFIs) di seluruh dunia.

Fungsi Kunci: AAOIFI berperan besar dalam menyelaraskan praktik-praktik keuangan syariah agar ada kesamaan standar dan interpretasi di berbagai negara. Ini penting banget untuk kredibilitas dan pertumbuhan industri.

Ustadz menjelaskan bahwa menurut standar syariah internasional, dalam asuransi syariah terdapat tiga hubungan akad:

  • Pertama, akad musyarakah atau syirkah antara peserta (jika dikelola swasta).
  • Kedua, akad wakalah bil ujrah antara peserta dan perusahaan pengelola.
  • Ketiga, akad tabarru’ antara peserta dengan dana sosial.

Nah dalam BPJS, poin pertama tidak berlaku, karena BPJS bukan perusahaan swasta.

Tidak ada syirkah dengan peserta.

Yang ada hanya dua akad:

  • Akad wakalah dengan badan BPJS.
  • Akad tabarru’ dengan dana bersama.

Semua poin ini menjelaskan bahwa BPJS tidak berada dalam wilayah riba dan gharar sebagaimana asuransi konvensional.

Pertanyaan Jamaah: Bagaimana dengan Orang Mampu yang Memakai BPJS Gratis?

Lalu masuk pertanyaan jamaah mengenai orang mampu yang memakai BPJS gratis (PBI).

Ustadz menjawab: itu adalah dosa.

Karena PBI hanya untuk masyarakat miskin yang iurannya dibayar pemerintah.

Kalau ada orang yang sebenarnya mampu tetapi memalsukan data atau memanfaatkan celah agar terdaftar sebagai peserta gratis, itu sama dengan mengambil hak fakir miskin.

Allah melarang mengambil hak orang lain dengan cara yang batil.

Pertanyaan Lain: Bolehkah Orang Mampu Pakai BPJS Mandiri?

Jamaah bertanya lagi: Bagaimana kalau orang mampu memakai BPJS mandiri?

Ustadz menjawab: tidak apa apa.

Yang haram adalah mengambil fasilitas PBI padahal mampu.

Adapun memakai BPJS mandiri itu boleh.

Karena ia membayar iuran dan ikut dalam sistem gotong royong.

Pertanyaan Jamaah: Ada yang Bilang BPJS Haram karena Mirip Asuransi…

Ustadz menjawab lagi kepada jamaah yang bingung karena banyak ceramah lain yang mengatakan BPJS haram.

Ustadz mengatakan:

“Masalahnya, banyak orang membuat hukum muamalah tanpa melihat tasawwur produk. Tidak melihat undang-undang. Tidak membaca SOP. Hanya dengar dari link berita, dengar katanya, atau dari mantan pegawai BPJS.”

Ustadz menegaskan bahwa itu tidak boleh.

Karena dalam muamalah, kita harus memahami akadnya, aliran dananya, serta tujuan produk tersebut.

Penekanan Ustadz: Hukum Muamalah Harus Berdasarkan Data

Ustadz mengulang berkali-kali bahwa muamalah itu domain logika, analisis, dan keadilan.

Kaidah dasar riba dan gharar bertujuan menjaga fairness, menjaga keadilan antar pihak.

Selama fairness terpenuhi dan unsur riba tidak ada, maka akad menjadi mubah.

BPJS memenuhi prinsip fairness dan tidak mengandung pertukaran uang ribawi antara peserta dan badan pengelola. Maka tuduhan riba dan gharar tidak tepat.

Mengkritisi Sikap Orang yang Menolak BPJS karena Tidak Faham

Ustadz mengatakan sedih melihat kasus orang miskin yang menolak BPJS karena katanya riba.

Padahal istrinya mau melahirkan, perlu biaya besar, tetapi ia tetap menolak BPJS karena salah paham.

“Ini bukan warak, bukan kehati-hatian. Ini kebodohan,” kata Ustadz.

Karena menolak fasilitas halal, akibatnya menyusahkan diri dan keluarga.

Islam tidak mengajarkan kesulitan seperti itu.

Ustadz menegaskan dan menekankan agar jangan salah paham tentang muamalah.

Membahas Peraturan Presiden tentang Denda

Selanjutnya Ustadz membuka dokumen Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2020.

Ini adalah aturan terbaru tentang BPJS Kesehatan.

Dalam peraturan tersebut dijelaskan tentang mekanisme denda pelayanan.

Disebutkan bahwa peserta yang menunggak iuran lebih dari 1 bulan dan kemudian membutuhkan rawat inap, akan dikenakan denda pelayanan sebesar 5 persen dari biaya rawat inap, dengan batasan maksimal tertentu.

Ustadz menekankan kembali bahwa denda ini bukanlah bunga hutang.

Bukan tambahan atas nilai pokok iuran.

Denda ini hanya berlaku ketika peserta membutuhkan rawat inap setelah lama tidak berkontribusi kepada dana bersama.

Kalau peserta tidak rawat inap, tidak ada denda apa pun.

Maka ini bukan riba.

Penjelasan Tekstual: Tidak Ada Hutang Bunga

Bahkan dalam regulasi disebutkan bahwa iuran yang tidak dibayar tidak otomatis menjadi hutang yang berbunga.

Statusnya hanya menonaktifkan kepesertaan.

Peserta boleh mengaktifkan kembali hanya dengan membayar iuran bulan berjalan, tanpa tambahan bunga apa pun.

Ini sangat berbeda dengan riba yang menambah jumlah kewajiban karena penundaan waktu.

Jadi tidak ada riba dari sisi ini.

Masuk Lagi ke Akad: Membedah Hubungan antara Peserta dan BPJS

Ustadz kemudian mengulangi penjelasan akad dari perspektif syariah internasional.

Hubungan antara peserta dan badan BPJS adalah akad wakalah bil ujrah.

Artinya peserta mewakilkan pengelolaan dana kepada BPJS.

Lalu hubungan antara peserta dengan kas dana umat adalah akad tabarru’, yaitu komitmen sosial untuk saling menanggung.

BPJS tidak menanggung risiko apa pun.

Risiko ditanggung oleh dana bersama yang berasal dari peserta sendiri.

Dengan demikian tidak ada transaksi komersial antara peserta dan BPJS.

Tidak ada jual beli risiko.

Tidak ada pertukaran uang dengan uang.

Maka riba tidak muncul.

Kapan Asuransi Menjadi Riba?

Ustadz mengatakan: titik riba dalam asuransi itu sangat jelas.

Asuransi menjadi riba apabila:

Nasabah membayar premi berupa uang kepada perusahaan, lalu perusahaan mengembalikan uang kepada nasabah dalam jumlah yang berbeda.

Itu riba.

Dua arah pertukaran uang yang berbeda nilai.

Tetapi dalam BPJS, perusahaan BPJS tidak memberikan uang kepada peserta.

Yang memberi manfaat adalah dana umat, bukan badan BPJS.

Ini perbedaan fundamental antara BPJS dan asuransi konvensional.

Menguatkan Lagi: BPJS Tidak Mengandung Riba dan Gharar

Ustadz menyimpulkan bahwa tuduhan BPJS mengandung riba terbantahkan oleh undang-undang.

Dana BPJS bukan milik perusahaan.

Dana BPJS adalah dana amanah.

Manfaat BPJS bukan diberikan oleh perusahaan.

Manfaat BPJS berasal dari dana kolektif masyarakat.

BPJS tidak menjual risiko.

BPJS hanya mengelola dan mengadministrasikan.

Inilah perbedaan antara asuransi takaful sosial dengan asuransi komersial.

Maka riba dan gharar gugur seluruhnya.

Kesimpulan Ustadz: BPJS Dalam Islam Halal dan Boleh

Hukum BPJS Menurut Islam MUI Salaf Firanda Erwandi Tarmidzi Ahmad Suryana
Foto Ustadz Ahmad Suryana

Ustadz mengatakan bahwa setelah melihat undang-undang dan mekanisme kerjanya, BPJS tidak mengandung riba.

BPJS juga tidak mengandung gharar yang terlarang karena akadnya adalah tabarru’, bukan akad komersial.

Yang menanggung risiko adalah peserta.

Yang mengelola adalah badan BPJS.

Dana BPJS adalah dana amanah milik seluruh peserta.

Tidak ada transaksi dua arah antara peserta dan perusahaan BPJS.

Maka hukum BPJS adalah boleh.

Catatan Penting tentang Etika Penggunaan

Satu-satunya yang Ustadz haramkan ialah ketika seseorang mampu tetapi ikut BPJS gratis.

Itu mengambil hak orang miskin.

Itu haram.

Adapun peserta mandiri, peserta non-PBI, dan seluruh kategori lain, BPJS hukumnya boleh.

Penutup Kajian

Ustadz menutup dengan nasihat agar jangan mudah mengambil hukum muamalah tanpa memahami tasawwur produk.

Apalagi hanya berdasarkan katanya, berita viral, atau potongan informasi.

Muamalah harus ditimbang dengan akad, alur dana, dan prinsip fairness.

Setelah itu kajian ditutup dengan doa dan salam penutup.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Semoga bermanfaat ya Temen temen. Bagaimana pandanganmu selepas mendapatkan paparan dari ustadz Ahmad Suryana ini? Bisa komen yang santun di kolom komentar.

Anjrah Ari Susanto, S.Psi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.